Republik Indonesia mempunyai batas maritim dengan 10 negara tetangga yaitu Australia, Timor Leste, Papua New Guinea (PNG), Palau, Filipina, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan India. Dalam penataan batas maritim dengan negara-negara tetangga tersebut, menurut Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia berhak untuk menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona maritim, dengan batas-batas maksimum (dihitung dari garis pangkal atau garis dasar) yang ditetapkan sebagai berikut [Agoes, 2002]: laut teritorial (territorial sea), zona yang merupakan bagian dari wilayah negara sebesar 12 mil laut, zona tambahan (contiguous zone), dimana negara memiliki yurisdiksi khusus sebesar 24 mil laut, zona ekonomi eksklusif (ZEE), zona dimana negara memiliki hak-hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber kekayaan alamnya di atas dasar laut sampai permukaan laut serta pada dasar laut serta tanah di bawahnya sebesar 200 mil laut, dan terakhir landas kontinen (continental shelf), zona dimana negara memiliki hak-hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber kekayaan alam pada dasar laut serta tanah di bawahnya (antara 200 - 350 nm atau sampai dengan 100 nm dari isobath (kedalaman) 2500 meter).
Garis batas antara Indonesia dan negara-negara tersebut untuk setiap zona maritim yang sudah ada, biasanya akan diberikan berupa daftar koordinat geodetik (lintang,bujur) dari titik-titik batas. Namun demikian untuk informasi koordinat batas yang ada tersebut tidak jelas menyebutkan datum geodetik (sistem referensi koordinat) nya. Ketidakjelasan tentang datum geodetik dari titik-titik batas maritim Indonesia dengan negara-negara tetangga ini perlu secepatnya dikaji dan dievaluasi sebelum timbul permasalahan kelak.
—————————————————————————————————————————————————
PENTINGNYA DATUM GEODETIK PADA LINGKUP BATAS WILAYAH
Ketidak-jelasan mengenai masalah datum geodetik dalam penentuan titik batas akan menimbulkan masalah ketika melakukan implementasi di lapangan, dan dapat juga menjadi masalah baru dalam penuntasan perjanjian penetapan batas wilayah. Untuk dua datum yang berbeda, datum shift dapat mencapai nilai ratusan meter untuk salah satu atau semua salib sumbunya. Seperti contoh datum shift AGD66 dengan WGS84 untuk sumbu X bernilai 130-an meter, sumbu Y bernilai 50-an meter, dan sumbu Z bernilai 140-an meter.
Dengan keragu-raguan yang kita miliki mengenai datum geodetik batas wilayah, sangat lah jelas dapat menimbulkan masalah dalam hal implementasi dilapangan. Dengan keraguan posisi sampai ratusan meter akan membuat ketidakpastian (dispute) dalam menetapkan batas tresspassing, atau batas kewenangan ekploitasi kawasan potensial. Dapat kita bayangkan ekses yang akan terjadi apabila kita menangkap nelayan asing namun ternyata salah tangkap karena salah koordinat dari datum yang tidak jelas, atau kita mengalami konflik daerah eksplorasi potensi besar minyak bumi karena salah koordinat batas dari datum yang tidak jelas. Oleh karena itu Datum Geodetik menjadi salah satu hal yang penting, untuk dijelaskan dan dipertegas dalam hal kepentingan batas wilayah.
—————————————————————————————————————————————————
KAJIAN DATUM GEODETIK BATAS (LAUT) INDONESIA DAN NEGARA TETANGGA
Untuk menjawab Ketidakjelasan tentang datum geodetik dari titik-titik batas maritim Indonesia dengan negara-negara tetangga ini maka harus secepatnya dikaji dan dievaluasi sebelum timbul permasalahan kelak. BAKOSURTANAL bekerjasama KK Geodesi kemudian akhirnya melakukan studi kajian terhadap aspek datum geodetik dari koordinat titik-titik batas dari zona-zona maritim yang telah ditetapkan antara Indonesia dengan negara-negara tetangganya serta permasalahan yang terkait.
Tujuan yang hendak dicapai dari studi kajian ini adalah untuk mengetahui status dan karakteristik dari datum geodetik yang digunakan sebagai referensi bagi koordinat titik-titik batas dari zona-zona maritim yang telah ditetapkan antara Indonesia dengan negara-negara tetangganya; berikut permasalahan-permasalahan yang terkait serta alternatif solusi penanganannya.
—————————————————————————————————————————————————
Metodologi Pelaksanaan Kajian
Studi pengkajian datum geodetik batas maritim Indonesia dengan negara tetangga ini pada prinsipnya merupakan suatu studi pengkajian akademik. Studi ini merupakan kerjasama antara Bakosurtanal dan ITB, serta melibatkan (secara langsung maupun tak langsung) nara sumber dari beberapa institusi pemerintah yang mengelola batas maritim negara, baik di dalam negeri (contohnya Departemen Luar Negeri dan Dishidros TNI-AL) maupun di negara-negara tetangga yang berbatasan. Dalam pelaksanaan pekerjaan ini, ITB sebagai pelaksana pekerjaan bekerjasama secara aktif dengan Pusat Pemetaan Batas Wilayah BAKOSURTANAL. Kegiatan pembahasan dan rapat koordinasi dilaksanakan secara bergiliran di kedua tempat tersebut.
Hasil dari studi pengkajian semacam ini akan sangat tergantung pada kelengkapan serta kualitas data dan informasi yang terkait dengan batas maritim antara Indonesia dan negara-negara tetangga yang diperoleh. Oleh sebab itu dalam studi ini inventarisasi dan pengumpulan data dan informasi dilaksanakan secara intensif dari perbagai sumber yaitu : tulisan, dokumen perjanjian, majalah dan buku yang terkait, situs internet, data dan informasi dari instansi pengelola batas maritim di dalam negeri maupun di negara-negara tetangga, wawancara dan komunikasi (langsung dan tak langsung) dengan para sumber dari dalam maupun luar negeri, dan data serta informasi yang diperoleh dari seminar/workshop sosialisasi.
Berdasarkan data dan informasi yang berhasil dikumpulkan selanjutnya dilakukan proses evaluasi dan analisa terhadap data dan informasi tersebut. Dalam hal ini evalusi dan analisa ditekankan pada aspek dan dampak geometrik dari beberapa alternatif datum geodetik yang memungkinkan (untuk kasus dimana datum geodetik tidak disebutkan) serta aspek transformasi datum (untuk kasus dimana datum geodetiknya sudah ditetapkan). Proses analisa dan evaluasi ini bertujuan untuk mendapatkan kejelasan yang lebih baik menyangkut status dan karakteristik dari datum geodetik dalam penetapan batas maritim Indonesia dengan negara-negara tetangga nya, serta alternatif penanganannya seandainya diperlukan.
Dalam kasus dimana datum geodetik yang melandasi koordinat titik-titik batas tidak disebutkan dalam perjanjian batas yang terkait, maka informasi langsung dari pihak yang terlibat dengan penetapan batas tersebut baik dari pihak Indonesia ataupun pihak negara tetangga yang terkait, perlu didapatkan. Dalam hal ini tim pengkajian berusaha untuk bertatap muka dan berdiskusi langsung dengan pihak-pihak tersebut. Seandainya sudah ada kejelasan tentang datum geodetik yang bersangkutan, maka seandainya datum tersebut berbeda dengan datum WGS84, tim pengkajian berusaha menginventarisir parameter transformasi antara kedua datum tersebut yang sudah pernah ditentukan sebelumnya oleh pihak-pihak lainnya. Seandainya nilai parameter transformasi tersebut belum ada maka studi pengkajian ini akan menyusun mekanisme penentuannya, untuk dilaksanakan kelak pada waktu yang dianggap tepat.
—————————————————————————————————————————————————
CONTOH KAJIAN DATUM GEODETIK BATAS LAUT INDONESIA -PAPUA NEW GUINEA
Batas maritim antara Indonesia dengan Papua New Guinea mulai diupayakan melalui meja perundingan dan perjanjian pada tahun 1971, 1973, dan 1980. Pada tahun 1971 pemerintah Indonesia dan pemerintah Commonwealth Australia mengadakan perjanjian penetapan batas-batas dasar laut tertentu antara pemerintah Indonesia dan Australia, dan salah satunya di bahas dan dibuatkan perjanjian (pasal 3) mengenai batas daerah dasar laut di depan pantai selatan pulau Irian yang masing-masing dimiliki oleh Indonesia untuk bagian sebelah barat, dan Papua New Guinea di bagian sebelah timur. Sementara itu pada pasal 4 disebutkan mengenai perjanjian penetapan batas daerah dasar laut di depan pantai utara pulau Irian
Pada tahun 1973 pemerintah Indonesia, pemerintah Commonwealth Australia, dan Papua New Guinea mengadakan perjanjian kembali untuk penetapan batas daerah tertentu antara pemerintah Indonesia dan Papua New Guinea dengan salah satunya mengatur batas daerah dasar laut di depan pantai sebelah selatan pulau Irian yang dituangkan dalam pasal 3 dan pasal 4 isi perjanjian.
Pada tanggal 13 Desember 1980 di Jakarta telah ditandatangani “Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Papua Nugini tentang Batas-batas Maritim antara Republik Indonesia dan Papua Nugini dan Kerjasama tentang Masalah-masalah yang bersangkutan” sebagai hasil perundingan antara Delegasi Pemerintah Republik Indonesia dan Delegasi Pemerintah Papua Nugini.
—————————————————————————————————————————————————
Titik Batas Daerah Indonesia Papua New Guinea di Laut
Berdasarkan hasil perundingan kemudian dilanjutkan dengan Perjanjian mulai dari tahun1971 sampai dengan 1980 diperoleh titik-titik batas daerah dasar laut ( titik batas laut teritorial dan landas kontinen ) antara Indonesia dan Papua New Guinea adalah garis-garis lurus lateral yang menghubungkan 6 (enam) buah titik batas di depan pantai selatan pulau Irian dan 2 (dua) buah titik batas di depan pantai utara pulau Irian.
Selanjutnya berdasarkan pasal 6 Perjanjian penetapan batas tahun 1971 dan pasal 9 perjanjian penetapan batas tahun 1973 dinyatakan bahwa titik-titik batas tersebut adalah koordinat geografis, dan. dinyatakan bahwa lokasi sebenarnya dari titik-titik batas tersebut di laut akan ditentukan menggunakan metode yang disepakati bersama oleh instansi yang berkompeten dari kedua belah pihak, dalam hal ini instansi yang berkompeten dari pihak Indonesia yaitu Ketua BAKOSURTANAL dan dari pihak Papua New Guinea adalah Direktur Nasional Mapping, atau masing-masing orang yang mewakilkannya.
—————————————————————————————————————————————————
Perkiraan DATUM Gedetik yang digunakan?
Pada naskah perjanjian antara Indonesia, Australia, dan Papua New Guinea tersebut tidak dicantumkan secara spesifik datum geodetik yang digunakan dalam menentukan nilai koordinat titik batas tersebut. Namun pada perjanjian batas daerah dasar laut antara Australia dengan Papua New Guinea pada tahun 1978 (tepatnya 18 desember 1978) pada pasal 1 paragraf 2 secara tertulis disebutkan bahwa datum geodetik yang dipergunakan adalah Australian Geodetic Datum (66).
Melihat fakta di atas, maka alasan kuat bisa kita sampaikan bahwa ketika melakukan perjanjian yang melibatkan Indonesia (Indonesia – Australia – Papua New Guinea) juga kemungkinan besar melibatkan datum geodetik bernama Australian Geodetic Datum (66) dengan alasan aspek keseragaman dan kesamaan daerah.
Perlu juga dicatat di sini bahwa secara umum jarak batas daerah dasar laut antar ke-6 titik di selatan pulau Irian adalah berkisar antara 2 sampai 53 MILES, dengan kedalaman laut pada lokasinya berkisar 200 meter atau kurang. Sementara itu di bagian utara pulau Irian hanya ada dua titik dengan jarak antar titik tersebut sekitar 27 miles, dengan kedalaman laut yang curam mencapai 9000 feet [US Analysis]
—————————————————————————————————————————————————
Analisis Permasalahan Akibat Ketidakjelasan Datum Geodetik
Ketidak-jelasan mengenai masalah datum geodetik dalam penentuan titik batas akan menimbulkan masalah ketika melakukan implementasi di lapangan, dan dapat juga menjadi masalah baru dalam penuntasan perjanjian penetapan batas wilayah.
Seperti kita ketahui bahwa datum shift dapat mencapai nilai ratusan meter untuk salah satu atau semua salib sumbunya. Seperti contoh datum shift AGD66 dengan WGS84 untuk sumbu X bernilai 130-an meter, sumbu Y bernilai 50-an meter, dan sumbu Z bernilai 140-an meter. Kalau kita lihat contoh kasus perjanjian batas Indonesia- Papua diketahui fakta bahwa datum geodetik tidaklah tersebut secara jelas apa yang digunakannya, dan kita hanya bisa menduga kemungkinan datumya AGD66, maka apabila kita ternyata salah dalam menduganya maka kesalahan mungkin kita peroleh dalam orde ratusan meter. Belum lagi apabila kita memperhitungkan masalah rotasi dan faktor skala antar datum serta “ketelitian parameter transformasi” datum itu sendiri, maka kita dapat menghadapi masalah yang cukup kompleks mengenai datum geodetik ini.
Dengan keragu-raguan yang kita miliki mengenai datum geodetik batas wilayah, sangat lah jelas dapat menimbulkan masalah dalam hal implementasi dilapangan. Dengan keraguan posisi sampai ratusan meter akan membuat ketidakpastian (dispute) dalam menetapkan batas tresspassing, atau batas kewenangan ekploitasi kawasan potensial. Dapat kita bayangkan ekses yang akan terjadi apabila kita menangkap nelayan asing namun ternyata salah tangkap karena salah koordinat dari datum yang tidak jelas, atau kita terlibat konflik eksplorasi potensi minyak bumi karena salah koordinat batas dari datum yang tidak jelas.
Secara umun permasalahan datum ini dapat di bagi menjadi beberapa kasus, yaitu pergeseran titik batas akibat adanya datum shift, tingkat kepercayaan ketelitian parameter transformasi antar datum, efek faktor skala antar datum terhadap jarak antar titik batas, ketelitian titik dasar, implementasi dan aspek legalitas hukumnya, dan kegiatan rekonstruksi.
Rabu, 02 April 2008
Teknologi Geodesi
Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi, bidang geodesi tercatat sebagai bidang yang mengalami perkembangan teknologi paling pesat, terutama berkaitan dengan teknologi satelit. Kini di dalam ruang lingkup ilmu geodesi kita mengenal Geodesi Satelit, yaitu sub-bidang ilmu geodesi yang menggunakan bantuan satelit (alam ataupun buatan manusia) untuk menyelesaikan problem-problem geodesi. Pemanfaatan sistem-sistem pengamatan geodesi satelit pada saat ini sudah sangat luas spektrumnya. Spektrum pemanfaatannya mencakup skala lokal sampai global, dari masalah-masalah teoritis sampai aplikatif, dan juga mencakup matra darat, laut, udara, dan luar angkasa. Bentuk teknologi geodesi satelit diantaranya Global Positioning System (GPS), Glonass, Galileo, Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR), Satelit Altimetri, Satelit Gravimetri, SLR, LLR, VLBI, dan lain-lain.
Di Indonesia,teknologi GPS mulai di aplikasikan secara luas mulai tahun 1992, satelit altimetri dan InSAR mulai di geluti sekitar tahun 1998.
_____________________________________________________________________________
GPS (Global Positioning System)
GPS (Global Positioning System) adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga-dimensi serta informasi mengenai waktu, secara kontinyu di seluruh bagian wilayah bumi ini tanpa bergantung waktu dan cuaca, bagi banyak orang secara simultan. Saat ini GPS sudah banyak digunakan oleh orang di seluruh dunia dalam berbagai bidang aplikasi yang menuntut informasi tentang posisi, kecepatan, percepatan ataupun waktu yang teliti. GPS dapat memberikan informasi posisi dengan ketelitian bervariasi dari beberapa millimeter (orde nol) sampai dengan puluhan meter.
_____________________________________________________________________________GPS (Global Positioning System) adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga-dimensi serta informasi mengenai waktu, secara kontinyu di seluruh bagian wilayah bumi ini tanpa bergantung waktu dan cuaca, bagi banyak orang secara simultan. Saat ini GPS sudah banyak digunakan oleh orang di seluruh dunia dalam berbagai bidang aplikasi yang menuntut informasi tentang posisi, kecepatan, percepatan ataupun waktu yang teliti. GPS dapat memberikan informasi posisi dengan ketelitian bervariasi dari beberapa millimeter (orde nol) sampai dengan puluhan meter.
Interferometric Synthetic Aperture Radar (InsAR)
Interferometric Synthetic Aperture Radar (InsAR) adalah teknik penginderaan Jauh yang menggunakan citra hasil dari satelit radar. Satelit radar memancarkan gelombang radar secara konstan, kemudian gelombang radar tersebut direkam setelah diterima kembali akibat dipantulkan oleh target di permukaan bumi. _____________________________________________________________________________
Satelit Altimetri
Sistem satelit altimetri berkembang sejak tahun 1975, saat diluncurkannya sistem satelit Geos-3. Pada saat ini secara umum sistem satelit altimetri mempunyai tiga objektif ilmiah jangka panjang yaitu: mengamati sirkulasi lautan global, memantau volume dari lempengan es kutub, dan mengamati perubahan muka laut rata-rata (MSL) global. Dalam konteks geodesi, objektif terakhir dari misi satelit altimetri tersebut adalah yang menjadi perhatian. Dengan kemampuannya untuk mengamati topografi dan dinamika dari permukaan laut secara kontinyu, maka satelit altimetri tidak hanya bermanfaat untuk pemantauan perubahan muka laut secara global, tetapi juga akan bermanfaat untuk beberapa aplikasi geodetik dan oseanografi. _____________________________________________________________________________
Sistem satelit altimetri berkembang sejak tahun 1975, saat diluncurkannya sistem satelit Geos-3. Pada saat ini secara umum sistem satelit altimetri mempunyai tiga objektif ilmiah jangka panjang yaitu: mengamati sirkulasi lautan global, memantau volume dari lempengan es kutub, dan mengamati perubahan muka laut rata-rata (MSL) global. Dalam konteks geodesi, objektif terakhir dari misi satelit altimetri tersebut adalah yang menjadi perhatian. Dengan kemampuannya untuk mengamati topografi dan dinamika dari permukaan laut secara kontinyu, maka satelit altimetri tidak hanya bermanfaat untuk pemantauan perubahan muka laut secara global, tetapi juga akan bermanfaat untuk beberapa aplikasi geodetik dan oseanografi. _____________________________________________________________________________
Satelit Gravimetri (GOCE dan GRACE)
Teknik penentuan gravity field untuk selanjutnya digunakan untuk menentukan geoid dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi satelit yang terbagi menjadi 2 teknik, yaitu secara geometrik dan secara dynamic. Secara geometrik dengan memanfaatkan kombinasi dari satelit altimetri dengan satelit GPS. Sementara itu secara dynamic dilakukan menggunakan misi-misi satelit gravimetri seperti GOCE dan GRACE. _____________________________________________________________________________
SATELIT GALILEO
Satelit Galileo merupakan sistem satelit navigasi global Eropa yang pertama dengan tingkat akurasi yang tinggi dan dikontrol dan dikelola oleh pihak sipil Uni Eropa. Adapun tujuan Uni Eropa untuk menciptakan satelit baru ini adalah untuk mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian GPS dan untuk dapat bersaing dalam dunia persatelitan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Satelit ini masih baru dan mulai diluncurkan pada tahun 2005, dan akan beroperasi secara penuh pada tahun 2008. Pada prinsipnya penentuan posisi dengan satelit Galileo hampir sama dengan penentuan posisi dengan GPS. Kedua satelit navigasi ini hanya berbeda pada spesifikasi dan kemampuannya.
Satelit Galileo merupakan sistem satelit navigasi global Eropa yang pertama dengan tingkat akurasi yang tinggi dan dikontrol dan dikelola oleh pihak sipil Uni Eropa. Adapun tujuan Uni Eropa untuk menciptakan satelit baru ini adalah untuk mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian GPS dan untuk dapat bersaing dalam dunia persatelitan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Satelit ini masih baru dan mulai diluncurkan pada tahun 2005, dan akan beroperasi secara penuh pada tahun 2008. Pada prinsipnya penentuan posisi dengan satelit Galileo hampir sama dengan penentuan posisi dengan GPS. Kedua satelit navigasi ini hanya berbeda pada spesifikasi dan kemampuannya.
Apa itu Geodesi, apa itu Geomatika ??
Apa Geodesi Apa Geomatika ?
Geodesi adalah bidang ilmu inter-disiplin yang menggunakan pengukuran-pengukuran pada permukaan Bumi serta dari wahana pesawat dan wahana angkasa untuk mempelajari bentuk dan ukuran bumi, planet-planet dan satelitnya, serta perubahan-perubahannya; menentukan secara teliti posisi serta kecepatan dari titik-titik ataupun objek-objek pada permukaan bumi atau yang mengorbit Bumi dan planet-planet dalam suatu sistem referensi tertentu; serta mengaplikasikan pengetahuan tersebut untuk berbagai bidang aplikasi ilmiah dan rekayasa menggunakan matematika, fisika, astronomi, dan ilmu komputer
Geomatika, adalah suatu terminologi ilmiah modern yang mengacu pada pendekatan terpadu dari pengukuran, analisis, pengelolaan, penyimpanan dan penyajian deskripsi dan lokasi dari data yang berbasis muka bumi, yang umumnya disebut data spasial. Geomatika muncul dalam konteks integrasi beberapa profesi atau disiplin ilmu yang saling berhubungan dengan bidang geo-informasi.
Geomatika ada sebagai jawaban dari perkembangan yang pesat bidang geodesi, yang menuntut adanya spesifikasi kajian dari implementasi ilmu geodesi yang terintegrasi dengan ilmu lainnya untuk mengeksplor secara detail geoinformasi. Dari sini kita dapat melihat bahwa geodesi merupakan tatanan dasar penting bagi geomatika, terlepas dari kita ingin memilah-milah keberadan keilmuan tersebut, atau tidak.
Geomatika, adalah suatu terminologi ilmiah modern yang mengacu pada pendekatan terpadu dari pengukuran, analisis, pengelolaan, penyimpanan dan penyajian deskripsi dan lokasi dari data yang berbasis muka bumi, yang umumnya disebut data spasial. Geomatika muncul dalam konteks integrasi beberapa profesi atau disiplin ilmu yang saling berhubungan dengan bidang geo-informasi.
Geomatika ada sebagai jawaban dari perkembangan yang pesat bidang geodesi, yang menuntut adanya spesifikasi kajian dari implementasi ilmu geodesi yang terintegrasi dengan ilmu lainnya untuk mengeksplor secara detail geoinformasi. Dari sini kita dapat melihat bahwa geodesi merupakan tatanan dasar penting bagi geomatika, terlepas dari kita ingin memilah-milah keberadan keilmuan tersebut, atau tidak.
Kamis, 13 Maret 2008
What is WGS '72?
History
Efforts to supplement the various national surveying systems began in the 19th century with F.R. Helmert's famous books Mathematische und Physikalische Theorien der Physikalischen Geodäsie. Austria and Germany initiated the foundation of a Central Bureau of "Internationale Erdmessung", and a series of global ellipsoids of the Earth were derived (e.g. Helmert 1906, Hayford 1910/ 1924).
A unified World Geodetic System became essential in the 1950s for several reasons:
International space science and the beginning of astronautics
The lack of inter-continental geodetic information and, concerning this
the inability of the large geodetic systems such as European Datum (ED50), North American Datum (NAD), and Tokyo Datum (TD), to provide a worldwide geo-data basis
Need for global maps for navigation, aviation and geography.
In the late 1950s the United States DoD, together with scientists of other institutions and countries, began to develop the needed world system to which geodetic datums could be referred and compatibility established between the coordinates of widely separated sites of interest. Efforts of the U.S. Army, Navy and Air Force were combined leading to the DoD World Geodetic System 1960 (WGS 60). The term datum as used here refers to a smooth surface somewhat arbitrarily defined as "zero elevation," consistent with a set of surveyor's measures of distances between various stations, and differences in elevation, all reduced to a grid of latitudes, longitudes, and elevations. Heritage surveying methods found elevation differences off a local horizontal determined by the spirit level, plumb line, or an equivalent device that depends on the local gravity field (see physical geodesy). As a result, the elevations in the datums are referenced to the geoid, a surface that is not readily found using satellite geodesy. The latter observational method is more suitable for global mapping. Therefore, a motivation, and a substantial problem in the WGS and similar work is to patch together datums that were not only made separately, for different regions, but to re-reference the elevations to an ellipsoid model rather than to the geoid.
In accomplishing WGS 60, a combination of available surface gravity data, astro-geodetic data and results from HIRAN and Canadian SHORAN surveys were used to define a best-fitting ellipsoid and an earth-centered orientation for each of the initially selected datums (Chapter IV). (The datums are relatively oriented with respect to different portions of the geoid by the astro-geodetic methods already described.) The sole contribution of satellite data to the development of WGS 60 was a value for the ellipsoid flattening which was obtained from the nodal motion of a satellite.
Gravimetric datum orientation
Prior to WGS 60, the U.S. Army and U.S. Air Force had each developed a world system by using different approaches to the gravimetric datum orientation method. To determine their gravimetric orientation parameters, the Air Force used the mean of the differences between the gravimetric and astro-geodetic deflections and geoid heights (undulations) at specifically selected stations in the areas of the major datums. The Army performed an adjustment to minimize the difference between astro-geodetic and gravimetric geoids. By matching the relative astro-geodetic geoids of the selected datums with an earth-centered gravimetric geoid, the selected datums were reduced to an earth-centered orientation. Since the Army and Air Force systems agreed remarkably well for the NAD, ED and TD areas, they were consolidated and became WGS 60.
The Department of Defense World Geodetic System 1966
Steps to the improvement of a global system were the Astrogeoid of Irene Fischer and the astronautic Mercury datum. In January 1966, a World Geodetic System Committee composed of representatives from the United States Army, Navy and Air Force, was charged with the responsibility of developing an improved WGS needed to satisfy mapping, charting and geodetic requirements. Additional surface gravity observations, results from the extension of triangulation and trilateration networks, and large amounts of Doppler and optical satellite data had become available since the development of WGS 60. Using the additional data and improved techniques, WGS 66 was produced which served DoD needs for about five years after its implementation in 1967. The defining parameters of the WGS 66 Ellipsoid were the flattening (1/298.25), determined from satellite data and the semimajor axis (6,378,145 meters), determined from a combination of Doppler satellite and astro-geodetic data. A worldwide 5° × 5° mean free air gravity anomaly field provided the basic data for producing the WGS 66 gravimetric geoid. Also, a geoid referenced to the WGS 66 Ellipsoid was derived from available astrogeodetic data to provide a detailed representation of limited land areas.
The Department of Defense World Geodetic System 1972
After an extensive effort extending over a period of approximately three years, the Department of Defense World Geodetic System 1972 was completed. Selected satellite, surface gravity and astrogeodetic data available through 1972 from both DoD and non-DoD sources were used in a Unified WGS Solution (a large scale least squares adjustment). The results of the adjustment consisted of corrections to initial station coordinates and coefficients of the gravitational field.
The largest collection of data ever used for WGS purposes was assembled, processed and applied in the development of WGS 72. Both optical and electronic satellite data were used. The electronic satellite data consisted, in part, of Doppler data provided by the U.S. Navy and cooperating non-DoD satellite tracking stations established in support of the Navy's Navigational Satellite System (NNSS). Doppler data was also available from the numerous sites established by GEOCEIVERS during 1971 and 1972. Doppler data was the primary data source for WGS 72 (Figure 38). Additional electronic satellite data was provided by the SECOR (Sequential Collation of Range) Equatorial Network completed by the U.S. Army in 1970. Optical satellite data from the Worldwide Geometric Satellite Triangulation Program was provided by the BC-4 camera system (Figure 39). Data from the Smithsonian Astrophysical Observatory was also used which included camera (Baker Nunn) and some laser ranging.
Doppler satellite ground stations providing data for WGS72 development
Worldwide geometric satellite triangulation network, BC-4 cameras
The surface gravity field used in the Unified WGS Solution consisted of a set of 410 10° × 10° equal area mean free air gravity anomalies determined solely from terrestrial data. This gravity field includes mean anomaly values compiled directly from observed gravity data wherever the latter was available in sufficient quantity. The value for areas of sparse or no observational data were developed from geophysically compatible gravity approximations using gravity-geophysical correlation techniques. Approximately 45 percent of the 410 mean free air gravity anomaly values were determined directly from observed gravity data.
The astrogeodetic data in its basic form consists of deflection of the vertical components referred to the various national geodetic datums. These deflection values were integrated into astrogeodetic geoid charts referred to these national datums. The geoid heights contributed to the Unified WGS Solution by providing additional and more detailed data for land areas. Conventional ground survey data was included in the solution to enforce a consistent adjustment of the coordinates of neighboring observation sites of the BC-4, SECOR, Doppler and Baker-Nunn systems. Also, eight geodimeter long line precise traverses were included for the purpose of controlling the scale of the solution.
The Unified WGS Solution, as stated above, was a solution for geodetic positions and associated parameters of the gravitational field based on an optimum combination of available data. The WGS 72 ellipsoid parameters, datum shifts and other associated constants were derived separately. For the unified solution, a normal equation matrix was formed based on each of the mentioned data sets. Then, the individual normal equation matrices were combined and the resultant matrix solved to obtain the positions and the parameters.
The value for the semimajor axis (a) of the WGS 72 Ellipsoid is 6 378 135 meters. The adoption of an a-value 10 meters smaller than that for the WGS 66 Ellipsoid was based on several calculations and indicators including a combination of satellite and surface gravity data for position and gravitational field determinations. Sets of satellite derived station coordinates and gravimetric deflection of the vertical and geoid height data were used to determine local-to-geocentric datum shifts, datum rotation parameters, a datum scale parameter and a value for the semimajor axis of the WGS Ellipsoid. Eight solutions were made with the various sets of input data, both from an investigative point of view and also because of the limited number of unknowns which could be solved for in any individual solution due to computer limitations. Selected Doppler satellite tracking and astro-geodetic datum orientation stations were included in the various solutions. Based on these results and other related studies accomplished by the Committee, an a-value of 6 378 135 meters and a flattening of 1/298.26 were adopted.
In the development of local-to WGS 72 datum shifts, results from different geodetic disciplines were investigated, analyzed and compared. Those shifts adopted were based primarily on a large number of Doppler TRANET and GEOCEIVER station coordinates which were available worldwide. These coordinates had been determined using the Doppler point positioning method.
Langganan:
Postingan (Atom)